Kamis, 15 Agustus 2013

#SaveEgypt


dari Abu Musa dari Nabi SAW yang bersabda:
“Sungguh, menjelang terjadinya kiamat ada masa-masa harj.”
Para sahabat bertanya:“Apakah hari harj itu?”

Beliau bersabda: “Pembunuhan”.
Mereka bertanya,
“Apakah lebih banyak jumlahnya dari jumlah orang yang kita bunuh?
Sesungguhnya kita dalam satu tahun membunuh lebih dari tujuh puluh ribu orang.” 

Beliau bersabda: “Bukan pembunuhan orang-orang musyrik oleh kalian itu,
tapi pembunuhan yang dilakukan oleh sebagian kalian terhadap sesamanya”.

Mereka bertanya. “Apakah pada masa itu kami masih berakal?”
Beliau bersabda, “Akal kebanyakan manusia zaman itu dicabut,
kemudian mereka dipimpin oleh orang-orang yang tak berakal,
kebanyakan manusia menyangka para pemimpin itu mempunyai pegangan,
padahal sama sekali tidak demikian.”

(H.R Ahmad dan Ibnu Majah, Hadist Shahih)

-- aisyah asyafiyah --

Kamis, 01 Agustus 2013

Lailatul Qadar, Waktu Pencatatan Takdir Tahunan

Di antara maksud lailatul qadar adalah waktu penetapan atau pencatatan takdir tahunan. Adapun keyakinan seorang muslim terhadap takdir, ia harus meyakini bahwa Allah mengetahui takdir hingga masa akan datang, Dia mencatat takdir tersebut, yang Dia tetapkan pasti terjadi, serta Dia pun menciptakan perbuatan hamba.


Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Disebut lailatul qadar karena di malam tersebut dicatat untuk para malaikat catatan takdir, rezeki dan ajal yang terjadi pada tahun tersebut. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,

فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah (maksudnya: takdir dalam setahun, -pen).” (QS. Ad Dukhon: 4).

Begitu pula firman Allah Ta’ala,
تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ
“Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. ” (QS. Al Qadr: 4). 

Yang dimaksud ayat ini adalah diperlihatkan pada malaikat kejadian-kejadian dalam setahun, lalu mereka diperintahkan melakukan segala yang menjadi tugas mereka. Namun takdir ini sudah didahului dengan ilmu dan ketetapan Allah lebih dulu. Lihat Syarh Shahih Muslim, 8: 57.

Mengenai surat Ad Dukhon ayat 4 di atas, Qotadah rahimahullah berkata, “Yang dimaksud adalah pada malam lailatul qadar ditetapkan takdir tahunan.” (Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 13: 132)

Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu ‘Abbas bahwa dicatat dalam induk kitab pada malam lailatul qadar segala yang terjadi selama setahun berupa kebaikan, kejelekan, rezeki dan ajal, bahkan sampai kejadian ia berhaji. Disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam Zaadul Masiir, 7: 338.



Sabtu, 27 Juli 2013

Beruntunglah Mereka....

Akhir-akhir ini saya merasa bersedih, saya tahu sebabnya.. saya iri kepada mereka yang telah lama terlibat dan memiliki teman-teman yang memiliki satu pandangan. Sehingga beberapa diantara mereka telah tampak begitu banyak kebaikan seperti membuat bakti sosial dunia maya, memiliki usaha bisnis yang syar'i, berdakwah dengan tulisan di pages yang telah memiliki ribuan likers, serta lain sebagainya. Sebuah prestasi yang indikatornya begitu tampak jelas. Satu hal yang juga menarik, sebab keilmuan mereka, keberanian menyuarakan kebenaran itu begitu jelas terpancar. Saya menilai diri saya yang jauh dari mereka, bahkan saya yang jauh dari apa-apa yang saya harapkan dari diri sendiri. Jauh.

Maka, beruntunglah mereka yang istiqomah di jalan-Nya, yang dididik dari keluarga yang terjaga, yang berada di lingkungan yang baik, yang senantiasa bercengkrama dengan ilmu agama, dengan dakwah, dengan amalan harian. Hal ini menyebabkan sebagian diri saya iri dan marah, lantas bertanya... "kemana saja saya selama ini?"

Jika memang saya menyuarakan kebaikan dan (mungkin) kebenaran, sungguh... ilmu apa yang melandasi saya untuk menyampaikannya. Nyatanya semua masih "nol" kosong, hanya pengalaman-pengalaman yang mungkin sempat "dipaksakan". Ah, bukan saatnya lagi mengeluh, bukan saatnya lagi menyesal. Everything have a reasons, yang tampak dari mereka belum tentu baik walau mungkin lebih baik. Jika saya menasehati diri saya, maka ini nasehat yang saya pilih "Jika kita sibuk menilai orang lain, kita akan lupa betapa tak ternilainya diri kita" atau "Jika kita terlalu menangisi masa lalu, maka masa depan telah siap menangis untuk kita" atau "Bahagia dulu, dan lihat Allah membuatnya menjadi lebih baik!"


~*Aisyah Asyafiyah*~
27/07/2013

Kamis, 18 Juli 2013

Cinta Sejati

Seorang peneliti dari Researchers at National Autonomous University of Mexico mengungkapkan hasil risetnya yang mengejutkan. Menurutnya; Sebuah hubungan cinta pasti akan menemukan titik jenuh, bukan hanya karena faktor bosan semata, tapi karena kandungan zat kimia di otak yang mengaktifkan cinta itu telah habis. Rasa tergila-gila dan cinta pada seseorang tidak akan bertahan lebih dari 4 tahun. Jika telah berumur 4 tahun, cinta sirna dan yang tersisa hanya dorongan seks bukan cinta yang murni lagi.

Menurutnya, rasa tergila-gila muncul pada awal jatuh cinta disebabkan oleh aktivitas dan pengeluaran komponen kimia spesifik di otak, berupa hormon dopamin, endofin, feromon, oxytocin, neuropinephrine yang membuat seseorang merasa bahagia, berbunga-bunga dan berseri-seri. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, dan terpaan badai tanggungjawab dan dinamika kehidupan efek hormon-hormon itu berkurang lalu menghilang. (sumber : www.detik.com)

Subhanallah, ingatkah kita mengenai memilih pasangan? Apakah ia tentang kecantikan, harta, atau kedudukan? Jagalah perasaan cinta kepada orang lain, sekalipun jika kamu hanya tinggal menghitung hari menuju perjanjian kuat. Sebab, ia bukan suami atau istrimu, maka kenalilah sejauh mana kesucian dan ketulusan cintamu padanya.

Bayangkanlah... bila kekasihmu nanti ketika hamil tubuhnya menjadi begitu gemuk, betisnya membesar, belum lagi berjerawat sebab hormon tubuhnya pun berubah, seiring waktu kulit pasanganmu semakin menghitam sebab terik matahari, atau perlahan kamu perhatikan keriput-keriput itu muncul. Dulu, senyumannya yang mempesona menjadi begitu biasa sebab berjalannya waktu. Bayangkanlah... bila suatu hari kekasihmu mengalami sebuah penyakit yang membuatnya hanya bisa terbaring beberapa lama, masihkah kamu mencintainya? Semoga kisah Abdurahman bin Abi Bakar dan Laila bintu al Jundi, mampu membawa hikmah, kepada hati-hati yang gemar belajar. Bismillah.

Ada ungkapan Arab yang menarik : "Setiap yang terlarang itu menarik!" Maka, hubungan sebelum menikah mungkin menjadi begitu menarik bagi sebagian orang. Namun, ketika ijab-qabul sudah diucapkan maka setan-setan bubar jalan untuk menggoda. Pernikahan membuat seseorang tahu bahwa... mereka tidak semata menemukan indahnya paras, harta benda, atau kedudukan, melainkan juga keindahan hati atau juga jati diri seseorang.

Di dalam surat Al-Baqarah : 102, ada setan yang bertugas menceraikan seorang suami dari istrinya melalui sihir. Dan tentunya setan yang sudah diberi wewenang untuk menggoda manusia sampai hari kiamat takkan berhenti ketika telah menikah, ia akan menggoda manusia dalam rumah tangga. Maka kemungkinan rumah tangga tanpa masalah atau gejolak akan sangat-sangat minim. Baik pada lapisan mereka yang kafir maupun penuh keimanan. 

Kejernihan pikiran, kemurnian hati, dan lurusnya niat semoga membantu kita untuk mudah dan kuat dalam menyikapinya, mempertahankan komitmen.

Dan sebelum pada komitmen itu, pilihlah ia yang memiliki potensi-potensi kebaikan serta agama yang ada dalam dirinya. "Bila ada seorang yang agama dan akhlaknya telah engkau sukai, datang kepadamu melamar, maka terimalah lamarannya. Bila tidak, niscaya akan terjadi kekacauan dan kerusakan besar di muka bumi" (Riwayat At Tirmizy dan lainnya) Maka bolehkah saya menulis, jika kita memilih tanpa memperhatikan agama dan akhlaknya, maka juga akan menciptakan kekacauan dan kerusakan? Sebab cinta yang tumbuh karena agama, amal sholeh, akhlak yang baik sepatutnya menjadi sesuatu yang mengabadi dan melegenda. 



Saya selalu saja teringat kisah Rasulullah dan Khadijah, jika secara logika saja... bagaimana mungkin seorang pemuda tampan menikahi seorang janda yang usianya berbeda belasan tahun, setia pada komitmennya hingga sang istri-lah yang meninggalkannya lebih dulu? MasyaAllah, Allahu Akbar. Tidakkah kita juga mengharapkan, cinta yang dibawa hingga pada kehidupan setelah dunia? Tidakkah kita mengharapkan kekasih yang selalu disisi kita bahkan saat kita harus berjalan dengan tongkat dan wajah kriput?

InsyaAllah, hanya cinta kepada iman dan akhlak-lah yang mampu menyelamatkan.

"Tiga hal, bila ketiganya ada pada diri seseorang, niscaya ia merasakan betapa manisnya iman: Bila Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dibandingkan selain keduanya, ia mencintai seseorang tidaklah ia mencintainya kecuali karena Allah, dan ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkan dirinya, bagaikan kebenciannya bila hendak diceburkan ke dalam kobaran api" (Muttafaqun 'alaih)

Yahya bin Mu'az berkata :
"Cinta karena Allah tidak akan bertambah hanya karena orang yang engkau cintai berbuat baik kepadamu, dan tidak akan berkurang karena ia berlaku kasar kepadamu" Menurut penjelasan ustadz Muhammad Arifin Badri, yang demikian itu karena cintamu akan tumbuh bersemu karena iman, amal sholeh dan akhlak mulia, sehingga bila iman orang yang kamu cintai tidak bertambah, maka cinta kamupun tidak akan bertambah. Dan sebaliknya, bila iman orang yang kamu cintai berkurang, maka cintamupun turut berkurang.

Kamu mencintainya bukan karena materi, pangkat, kedudukan, wajah yang rupawan, akan tetapi karena ia beriman dan berakhlak. InsyaAllah inilah cinta sejati.



Allah mencintai ia yang kuat :)
~*Aisyah Asyafiyah*~
19/07/2013

dengan banyak pengeditan dan penyesuaian

Pacaran Islami : Tidak Ada!


Dengan diplomatis, si dai menjawab, "Pacaran seperti apa dulu? Kami dulu juga berpacaran, tapi berpacaracan secara Islami. Kami juga sering berjalan-jalan ke tempat rekreasi, tapi tak pernah ngumpet berduaan. Kami juga gak pernah melakukan yang nggak-nggak, ciuman, pelukan, apalagi berzina"

Nuansa berpikir seperti itu, tampaknya bukan hanya milik si dai. Banyak kalangan kaum muslimin yang masih berpandangan, bahwa pacaran itu sah-sah saja, asalkan tetap menjaga diri masing-masing. Ungkapan itu ibarat kalimat, “Mandi boleh, asal jangan basah.” Ungkapan yang hakikatnya tidak berwujud. Karena berpacaran itu sendiri, dalam makna apapun yang dipahami orang-orang sekarang ini, tidaklah dibenarkan dalam Islam. Kecuali kalau sekedar melakukan nadzar (melihat calon istri sebelum dinikahi, dengan didampingi mahramnya), itu dianggap sebagai pacaran. Atau setidaknya, diistilahkan demikian. Namun itu sungguh merupakan perancuan istilah. Istilah pacaran sudah kadong dipahami sebagai hubungan lebih intim antara sepasang kekasih, yang diaplikasikan dengan jalan bareng, jalan-jalan, saling berkirim surat, ber SMS ria, dan berbagai hal lain, yang jelas-jelas disisipi oleh banyak hal-hal haram, seperti pandangan haram, bayangan haram, dan banyak hal-hal lain yang bertentangan dengan syariat. Bila kemudian ada istilah pacaran yang Islami, sama halnya dengan memaksakan adanya istilah, meneggak minuman keras yang Islami. Mungkin, karena minuman keras itu di tenggak di dalam masjid. Atau zina yang Islami, judi yang Islami, dan sejenisnya. Kalaupun ada aktivitas tertentu yang halal, kemudian di labeli nama-nama perbuatan haram tersebut, jelas terlalu dipaksakan, dan sama sekali tidak bermanfaat.

Pacaran Terbaik adalah Setelah Nikah

Islam yang sempurna telah mengatur hubungan dengan lawan jenis. Hubungan ini telah diatur dalam syariat suci yaitu pernikahan. Pernikahan yang benar dalam Islam juga bukanlah yang diawali dengan pacaran, tapi dengan mengenal karakter calon pasangan tanpa melanggar syariat. Melalui pernikahan inilah akan dirasakan percintaan yang hakiki dan berbeda dengan pacaran yang cintanya hanya cinta bualan.

Dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kami tidak pernah mengetahui solusi untuk dua orang yang saling mencintai semisal pernikahan.” (HR. Ibnu Majah no. 1920. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani)
Kalau belum mampu menikah, tahanlah diri dengan berpuasa. Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mampu untuk menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagaikan kebiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnul Qayyim berkata, ”Hubungan intim tanpa pernikahan adalah haram dan merusak cinta, malah cinta di antara keduanya akan berakhir dengan sikap saling membenci dan bermusuhan, karena bila keduanya telah merasakan kelezatan dan cita rasa cinta, tidak bisa tidak akan timbul keinginan lain yang belum diperolehnya.”

Cinta sejati akan ditemui dalam pernikahan yang dilandasi oleh rasa cinta pada-Nya. Mudah-mudahan Allah memudahkan kita semua untuk menjalankan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Allahumma inna nas’aluka ’ilman nafi’a wa rizqon thoyyiban wa ’amalan mutaqobbbalan.


[Muhammad Abduh Tuasikal]
~*Aisyah Asyafiyah*~
19/07/2013

Senin, 08 Juli 2013

Perjalanan Menuju Salaf

Bismillahirahmanirahim~


Kesempatan kali ini saya ingin berbagi pengalaman terkait perjalanan saya menemukan salaf. Perjalanan yang bisa dikatakan susah-susah gampang dan memakan waktu cukup lama, dan menguras perasaan serta pikiran. Mengapa demikian? Begini kisahnya.

Pada tahun 2010, tepatnya ketika bulan Ramadhan, saya resmi menjadi Mahasiswa Baru di salah satu universitas negeri di Semarang dengan jurusan impian saya. Ketika awal masuk itu, ada sedikit perasaan yang menelisik bahwa saya tidak ingin mengikuti organisasi rohis sebab saya ingin fokus belajar. Nyatanya, saya tidak bisa menolak "panggilannya" mungkin disebabkan karena sudah sejak SMP saya terlibat dalam organisasi khususnya rohis. Mungkin juga sebab bawaan kepribadian saya yang senang sekali ketika bisa menuangkan ide-ide, berbicara dengan orang lain, membantu orang lain, dengan hal dan cara yang sederhana. Maka di kampus-pun saya kembali ikut rohis. Awalnya masuk kuliah saya terbawa "kehidupan bebas" duh bukan yang negatif sekali itu... melainkan (hanya) sekedar suka makan bareng sama teman-teman di atas isya, suka menyewa film, dan haha-hihi. Euforia jauh dari orangtua mungkin. Tapi, Alhamdulillah perlahan hati saya menolak dan Allah menjaga saya, InsyaAllah. Ia memberikan saya lingkungan yang baik, sehingga saya bisa terbawa kembali ke arah yang lebih baik. Lingkungan itu bernama "Wisma".

Di "Wisma" saya dijaga dan dibimbing, saya diberikan jam batas malam, walaupun saya pribadi juga membatasi diri saya keluar maksimal jam 8.30, sesekali saya pulang lebih telat sebab mengerjakan tugas. Setiap hari ada agenda dzikir pagi dan petang, suatu hal baru bagi saya, sangat baru. Namun, saya merasa tidak nyaman sekali sebab saya tidak tahu landasannya, sebab saya tidak tahu ilmu-nya, sekalipun diberitahu itu masih sangat-sangat di permukaan saja. Saya juga melihat ada yang tidak bersumber dari hadist yaitu "doa rabitah" dan entah bagaimana rasanya begitu 'tinggi' sekali posisi doa itu dikalangan teman-teman. Selain itu ada agenda membaca buku, yaitu buku "Riyadhus Shalihin - Imam Nawawi" dan "Tazkiyatun Nafs by Said Qutb" , belajar tahsin, setor hafalan, shalat tahajud dan sebagainya. Sayangnya beberapa diantaranya tidak berjalan sebagaimana agenda yang ditetapkan. Di wisma saya menemukan seorang teman yang berasal dari jurusan lain, kami cukup dekat, dan seakan melengkapi. Beberapa kali dia memancing diskusi terkait "72 golongan", "Tarbiyah", "Salaf", "HTI", "LDI", "Muhammadiyah", "NU", dll. Saat itu kepala saya masih "dong" (kosong) sekali dalam perkara itu, diskusi itu tidak terlalu dalam terbahas. Hingga, suatu hari saya melihat seorang senior yang berhijab (bagi saya) sempurna, lebih rapat dan panjang, tidak banyak hiasan ini dan itu. Saya menyukainya. Singkatnya, saya bertanya "liqo" dengan siapa, dia hanya tersenyum dan menjawab bahwa dia tidak ikut liqo melainkan langsung mengaji kepada ustad di suatu masjid. Saya agak bingung, satu-satunya cara yang saya tahu untuk belajar agama islam adalah dengan "liqo" atau mengaji di masjid kampus. Itulah titik dimana saya tahu "ada yang lain", "ada jalan lain" untuk belajar Islam.

Saya jadi teringat, sejak masa-masa akhir SMA, ketika menunggu masuk kuliah, saya sering memasang kajian dari Radio Rodja, walaupun... entah saya menangkap ilmunya atau tidak sebab saya seringkali sambil melakukan aktivitas lain. Saya menyukainya, ilmunya dalam, hikmahnya luas, dan tidak nanggung-nanggung sebab memang orang ahli yang berbicara. Dan, saya baru tahu bahwa radio itu adalah salah satu media dakwah salaf. MasyaAllah. Hampir setiap pagi saya memasangnya sambil bersiap ke kampus. Selain itu, sejak masa-masa akhir SMA, sepertinya awal atau pertengahan 2010 saya memutuskan menjadikan account facebook saya hanya untuk perempuan, dan menggantinya dengan nama lain, nama yang saya senangi. Disana saya banyak berteman, dengan siapa saja, tentunya wanita, dan beberapa diantaranya ternyata orang salaf. Berbeda sekali dengan kebiasaan wanita umumnya dan beberapa wanita aktif dakwah, mereka tidak banyak mengeluh, dan banyak dipenuhi kisah-kisah hikmah ataupun syariat. Ya, walaupun memang ada, sayangnya setelah saya telisik lebih dalam sekarang ini, wanita salaf sangat suka sekali online, yah... tidak terkecuali saya. Berbeda sekali dengan wanita yang tarbiyah, tidak banyak update tapi kalau update seringnya "tentang dirinya", "keluhnya", "doanya", "kesibukannya", sekalipun saya tahu wanita adalah wanita yang butuh menuangkan sesuatu, dan tidak dipungkiri wanita yang sudah mengenal salaf-pun masih ada yang menilai "rendah" dirinya sebab keadaannya.

Intinya, saya merasakan dakwah melalui facebook, radio, majalah dan buku, walaupun tidak pernah bersua langsung, hanya pasif menjadi pendengar-pengamat-pembaca, itu sudah cukup membuatku jatuh cinta, dan memutuskan untuk pindah. Bukan proses yang singkat tentu saja, butuh waktu hampir satu tahun lebih untuk memutuskannya. Walaupun saya memang tidak bisa melepas bagaimana asyiknya bergerak dalam kebaikan, namun saya juga merasa bahwa keilmuan saya jauh dari banyak, jauh dari pantas, dan sangat-sangat kurang. Mengapa kemudian saya sombong di depan adik-adik saya? Merasa tahu, padahal baru baca sebelumnya, merasa benar, padahal tidak tahu siapa perawinya, merasa nyaman padahal ada hal yang tidak sejalan. Dan banyak pikiran lainnya, tentu, tentu ini subjektif, sebagai seorang yang telah berkecimpung sejak SMP, sebagai seorang yang menjalani dinamikanya, maka saya tidak meminta pembaca untuk menilai keputusan saya. InsyaAllah, semoga ini penuh harapan dengan keinginan untuk merengkuh ridho-Nya.

Awalnya saya merasa cukup tidak nyaman melihat orang berjilbab lebar dan gelap secara langsung, terlebih bagi yang menggunakan cadar, namun... laa hawula wa laa quwata ilabillah, orangtua saya membelikan gamis dan kerudung lebar lengkap dengan cadar. Sungguh saya selalu terharu mengingatnya. Ditengah banyak orang yang mungkin dihalau berbagai rintangan ketika memutuskan untuk mengenakannya seakan hidup dalam "penjara". Tantangan bagi mereka sangatlah banyak, dan itu bagai sebuah bentuk kecintaan dan ketaatannya kepada Allah. Aamiin. Saya mengagumi bagaimana lelaki yang begitu menghormati dan menjaga perasaan istrinya, namun ada juga sisi sebal dimana ada lelaki yang rendah sekali wibawanya dimataku sebab membiarkan istrinya merasakan sakit dan perihnya hati, karena dipoligami tanpa izin, padahal istri tersebut telah melahirkan delapan orang anak, buah cinta mereka. Namun, hidup adalah hidup, ujian adalah ujian, sabar dan shalat adalah kuncinya. Semoga Allah memberi kesabaran kepadanya, dan mengganti segala ujian tersebut dengan jannah.

Ketika berpindah ke salaf secara total, saya keluar wisma, dan saya merasa sendiri, stand alone. namun saya selalu tahu, saya tidak benar-benar sendiri, ada banyak orang baik dan perhatian pada saya. Diantara miliaran orang yang menyembah Allah, izinkan saya menjadi salah satunya, dan Allah selalu ada untuk kita. Selalu ada, selamanya. Sekalipun kita berada ditempat yang asing, tapi jika kita bisa menemukan kedamaian, keindahan, kebahagaiaan, sekalipun merasa sendirian dan terpenjara, hakikatnya itu adalah rumah. Rumah yang mempertemukan antara satu sahabat dengan sahabat lain yang merasakan kerinduan yang dalam, sekalipun pada pertemuannya yang pertama. Ah, susah disampaikan, susah diucapkan. Semoga istiqomah, dan sampai ke jannah :") aamiinallahumaamin.

Sekarang... sekarang saya masih sendiri, hanya beberapa teman saja, walau mereka sendiripun sibuk dengan jam terbangnya masing-masing. Selain diri-Nya, salah satu teman di dunia ini yang tak pernah berpaling dariku, dan aku pun tidak ingin berpaling darinya... adalah kata-kata. Mungkin saat ini hanya kata-kata yang bisa memahami saya, bahkan tulisan inipun jauh lebih ringan dari yang sebenarnya. Tapi, aku memang merasaka ringan, begitu ringan melangkah. Sebab kebahagiaan ini, tidak ada duanya. Saya yakin, jika kita meninggalkan sesuatu karena Allah, Allah akan menggantinya dengan lebih baik. Dan, tidak perlulah saya tuangkan betapa buruknya saya dulu disini. Yang pasti adalah... saya hanya sedang bergerak, bergerak pada hal yang saya yakini adalah kepada jalan-Nya yang lurus.


tentu, ini sangat singkat sekali
~*aisyah syafiyah*~

[Sebelumnya saya minta maaf jika ada yang tidak berkenan jika saya menyebutkan salaf yang lebih sempit yaitu terkhusus jamaah dengan karakteristiknya yang khas. Sebab salaf adalah hak orang yang mengikuti rasulullah dan sahabat. Bukan pertanda bahwa agama saya telah baik atau mendekati salaf, sebab nyatanya masih sangat-sangat jauh dari mendekatinya]

Senin, 01 Juli 2013

Sebab Musabab

~Bismillahirahmanirahim~


Dengan mengharapkan keridhaan-Nya tepat pada tanggal Senin, 1 Juli 2013 blog ini lahir, sebagai salah satu dan sedikitnya bentuk rasa syukur saya sebab Allah mengizinkan saya mengenal sunnah, ditengah banyaknya polusi keilmuan islam yang tercemar  fitnah-fitnah dan nafsu manusia, sehingga pola pikir, pola rasa dan pola laku kita sedikit banyak telah teracuni. Hingga melanggar kaidah-kaidah islam, menghujat sunnah, meninggalkan ilmu dan pengetahuan, memporak-porandakan dunia, serta merendahkan akhirat. Subhanallah.

Di tengah kemelut itu kutemukan cara yang begitu berkenan di hatiku, ia sering disebut "salaf". Sesungguhnya "salaf" memang "title" untuk semua muslim yang mengikuti ajaran Islam yang kaffah beserta sunnah-sunnahnya. Dan, di Indonesia sendiri, makna ini seakan menyempit menjadi lebih ekslusif terbatas pada golongan tertentu, sebab telah menjadi rahasia umum bahwa mau tidak mau ia telah membentuk jamaah-nya sendiri, membentuk komunitas, memiliki penggemar dan pencintanya. Saya pernah mendengar kajian bahwa memang sebaiknya kita menghindari penamaan itu, sebab orang yang mengikuti islam yang kaffah beserta sunnah juga adalah "salaf". Namun, sesungguhnya bukan perkara ini yang ingin saya sampaikan, sebab keilmuan saya-pun masih begitu rendah dan sangat-sangat rendah. Melainkan bahwa saya ingin berbagi mengenai perjalanan saya hingga saya menemukan salaf, dan proses perjalanan ini ingin saya bagi di blog ini. Semoga Allah mengistiqomahkan diri ini dan mati dalam keadaan khusnul khatimah.

Jadi, apa tujuan blog ini? Saya ingin menjadikannya sebagai jurnal pembelajaran saya, yaitu apa yang saya pelajari, materi tulisan apa yang saya senangi, atau kisah-kisah hikmah lainnya. Sehingga ada beberapa yang saya tulis dan ada beberapa yang saya copy dari status-status facebook, atau pages, sebab jika saya tidak menyimpannya disini saya khawatir kehilangan dan saya menjadikan tulisan disini sebagai pengingat untuk saya. Blog ini buat semata-mata untuk memfasilitasi tholabul ilmy saja. Tapi, saya juga berharap manfaat darinya  dapat diambil oleh pembaca sekalian.

Sebelumnya saya mohon maaf jika ada penulis yang saya simpan tulisannya namun merasa tidak dimintai izin, atau saya ubah dan sesuaikan dengan gaya bahasa saya. Dan saya berterima kasih sekali jika penulis mengikhlaskannya, semoga dapat menjadi amal jariyah penulisnya, dan semoga saya dibebaskan dari "tuntutan di akhirat".


Barakallahu fiik,
~Aisyah Asyafiyah~
01 Juli 2013

 #latar belakang, salaf, islam, blog, perdana